sekilas.co – AMNESTY International Indonesia mencatat sekitar 5.538 orang menjadi korban tindakan represif aparat selama demonstrasi sepanjang tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Lembaga itu menilai hak asasi manusia (HAM) mengalami erosi serius akibat maraknya kebijakan dan praktik otoriter.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebutkan bahwa ribuan korban kekerasan aparat tersebut berasal dari berbagai aksi sejak awal 2025. Mulai dari penolakan revisi UU TNI pada Maret, aksi buruh pada Mei, hingga protes kenaikan tunjangan DPR RI pada Agustus. “Rinciannya: 4.453 korban penangkapan, 744 korban kekerasan fisik, dan 341 korban penggunaan water cannon serta gas air mata,” kata Usman dalam laporan yang dirilis pada Senin, 20 Oktober 2025.
Kemudian, pasca demonstrasi Agustus 2025, 12 aktivis masih ditahan sebagai tersangka penghasutan, sementara dua orang dilaporkan masih hilang. Selain itu, negara dinilai belum serius menyelidiki tewasnya 10 korban dalam unjuk rasa Agustus lalu. Usman menyinggung pembatalan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta. “Padahal, tim itu sangat penting untuk mengungkap aktor yang paling bertanggung jawab. Komite Reformasi Polri juga menghilang,” ujarnya.
Alih-alih mengevaluasi kebijakan dan memastikan akuntabilitas polisi, Amnesty menilai Presiden justru memberi label negatif seperti anarkis, makar, asing, bahkan teroris, kepada pengunjuk rasa. Padahal, mereka adalah mahasiswa, pelajar, pegiat literasi, dan warga biasa.
Selain itu, munculnya Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri pada 29 September lalu dinilai Amnesty justru memperluas wewenang polisi, terutama terkait penggunaan senjata api.
Selain itu, Amnesty mencatat ada 119 korban kekerasan aparat di luar konteks demonstrasi. Rinciannya: 13 orang ditangkap, 93 orang mengalami kekerasan fisik, 27 orang disiksa, 9 orang ditembak, 5 orang diperas, dan 42 orang menjadi korban pembunuhan di luar hukum.
Erosi kebebasan sipil juga tercermin dari serangan terhadap pembela HAM yang mencapai 268 kasus. Ratusan kasus tersebut meliputi pelaporan ke polisi sebanyak 46 korban, penangkapan 17 korban, kriminalisasi 35 korban, percobaan pembunuhan 6 korban, serangan fisik 153 korban, hingga serangan ke tempat kerja pembela HAM sebanyak 11 lembaga. “Jurnalis dan pegiat adat menjadi korban terbanyak, masing-masing 112 dan 81 korban,” kata Usman.
Ia menambahkan, represi juga terus berlanjut di Papua, termasuk penangkapan pada April di Sorong, pengadilan pasal makar pada akhir Agustus, penggunaan gas air mata yang menewaskan warga di Manokwari, hingga penangkapan lima pemrotes investasi dan remiliterisasi di Jayapura pada 15 Oktober.
Menurut Usman, apa pun alasannya, manusia berhak atas perlakuan yang manusiawi. “Apalagi saat menyuarakan wacana kritis di ruang sipil. Jika suara-suara kritis oposisi dibungkam, yang muncul adalah atmosfer ketakutan,” ujarnya.
Amnesty International Indonesia menilai tidak ada kemajuan berarti dalam hak asasi manusia sejak pelantikan Prabowo-Gibran pada 20 Oktober 2024, baik terkait kebebasan dari rasa takut maupun dari kekurangan. “Sebaliknya, terjadi erosi terparah sepanjang masa reformasi. Kebijakan yang sebelumnya melanggar hak asasi tetap berlanjut dengan pola sama, tanpa partisipasi aktif warga,” tutur Usman.