Sengketa Kepemilikan Sardo Swalayan Memanas Kronologi, Pihak Terlibat, dan Potensi Dampaknya

foto/istimewa

Sekilas.co – Perjalanan panjang seorang ibu asal Malang, Tatik Swartiatun, dalam memperjuangkan hak atas usaha keluarganya akhirnya mulai menunjukkan hasil nyata. Setelah lebih dari sepuluh tahun berupaya mencari keadilan melalui berbagai jalur hukum, Pengadilan Negeri Bangil resmi mengabulkan permohonan praperadilan yang ia ajukan.

Putusan tersebut membatalkan penghentian penyidikan dalam kasus dugaan tindak pidana penggunaan akta autentik palsu yang dilaporkannya sejak tahun 2020 lalu. Bagi Tatik, langkah hukum ini menjadi kemenangan penting yang membuka kembali peluangnya mempertahankan kepemilikan Sardo Swalayan, usaha ritel yang telah ia bangun bersama mantan suaminya.

Baca juga:

Sengketa ini bermula dari persoalan harta gono-gini usai perceraian Tatik dan mantan suaminya, IR, pada 2010. Sardo Swalayan yang beroperasi di Malang dan Pandaan sebelumnya diakui sebagai bagian dari harta bersama.

Namun pada 2016, IR bersama dua saudaranya, CR dan FN, tiba-tiba mengklaim bahwa seluruh aset swalayan tersebut merupakan warisan keluarga mereka.

Klaim itu didasarkan pada dokumen akta pernyataan bersama Nomor 7 Tahun 2016 yang dibuat di hadapan seorang notaris. Sejak itu, perjuangan hukum Tatik berkali-kali menemui jalan buntu, termasuk gugatan harta bersama yang ditolak hingga tingkat kasasi.

Melihat adanya kejanggalan dalam dokumen yang digunakan pihak lawan, Tatik menempuh jalur pidana dengan melaporkan dugaan pemalsuan akta ke Polda Jawa Timur pada September 2020.

Meski penyelidikan sempat naik ke tingkat penyidikan, kasus justru dihentikan setahun kemudian karena dianggap kurang bukti. Kondisi tersebut tak membuat Tatik menyerah.

Ia mengajukan gugatan perdata berupa Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri Bangil. Hasilnya, majelis hakim menyatakan akta kesepakatan bersama Nomor 6 Tahun 2016 tidak sah dan batal, sekaligus menguatkan posisi hukum Tatik bahwa aset yang disengketakan adalah harta bersama.

Kuasa hukum Tatik, Helly, menjelaskan bahwa putusan tersebut menjadi landasan kuat untuk meminta penyidik membuka kembali laporan pidana yang sempat terhenti. Gelar perkara dilakukan dan penyidikan kembali berjalan hingga penyidik akhirnya menetapkan IR, CR, dan FN sebagai tersangka. Namun para tersangka kemudian mengajukan aduan ke Bareskrim Polri, yang pada akhirnya membuat perkara dihentikan kembali melalui penerbitan SP3.

Menurut Helly, penghentian penyidikan tersebut dianggap tidak wajar karena penetapan tersangka sebelumnya sudah menunjukkan bahwa penyidik memiliki minimal dua alat bukti permulaan yang cukup.

Tidak terima dengan keputusan itu, pihak Tatik mengajukan praperadilan. Setelah memeriksa seluruh rangkaian argumentasi, hakim PN Bangil menyatakan bahwa penerbitan SP3 oleh termohon tidak sah dan batal demi hukum.

Hakim juga memerintahkan penyidik untuk mencabut SP3, membuka kembali penyidikan, mengirimkan berkas perkara ke jaksa, serta mempertimbangkan langkah penahanan terhadap para tersangka guna mencegah upaya menghilangkan barang bukti dan mempengaruhi saksi.

“Putusan ini menjadi bukti bahwa akta yang digunakan para terlapor memiliki indikasi kuat mengandung keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 266 KUHP,” kata Helly menegaskan.

Tatik menyambut putusan itu dengan penuh rasa haru dan syukur. Menurutnya, keputusan hakim telah menguatkan kembali harapan yang hampir padam dari perjuangan panjangnya mengungkap kebenaran. Ia berharap kasus ini bisa menjadi pelajaran agar tidak ada lagi warga yang menghadapi perlakuan hukum tidak adil dalam memperjuangkan haknya.

“Ini adalah usaha saya dan anakanak untuk mempertahankan apa yang menjadi milik kami. Semoga keadilan benar-benar ditegakkan sampai tuntas,” ujar Tatik.

Artikel Terkait