Sekilas.co – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti keputusan bebas bersyarat yang diberikan kepada mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ridwan Djamaluddin. ICW menilai kebijakan tersebut mencederai semangat pemberantasan korupsi dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak.
Ridwan sebelumnya divonis 3 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 25 April 2024. Ia terbukti terlibat dalam kasus korupsi penjualan ore nikel milik PT Antam di Blok Mandiodo, Tapumeeya, Tapunggaya, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Menurut ICW, tindak pidana yang dilakukan Ridwan tidak hanya menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, tetapi juga berdampak serius terhadap kerusakan lingkungan hidup dan hilangnya sumber penghidupan masyarakat sekitar tambang.
“Mestinya hukuman untuk dia justru diperberat, bukan malah dibebaskan lebih cepat,” ujar Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha, saat dihubungi pada Rabu, 15 Oktober 2025.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), Ridwan telah mendapatkan pembebasan bersyarat sejak 20 Juni 2025. Ia keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin setelah dianggap memenuhi seluruh persyaratan administratif dan substantif sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun, ICW menilai langkah tersebut justru bertentangan dengan upaya pemberantasan korupsi.
“Putusan ini sangat mengecewakan karena tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi dan keadilan ekologi,” kata Egi.
Egi menambahkan, pemberian amnesti, remisi, maupun pembebasan bersyarat terhadap pelaku korupsi seharusnya dievaluasi secara ketat. Menurutnya, tindakan itu menimbulkan persepsi bahwa korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Ia juga menyoroti minimnya transparansi pemerintah dalam menjelaskan alasan pembebasan bersyarat terhadap Ridwan.
“Wajar jika publik menaruh kecurigaan terhadap keputusan ini,” ujarnya.
Dalam perkara tersebut, Ridwan terbukti mengesahkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT Kabaena Kromit Pratama (KPP) pada 2022, meski perusahaan tersebut telah diketahui sejak 2015 tidak lagi memiliki deposit ore nikel di wilayah konsesinya. Tindakan itu membuka peluang penambangan ilegal yang menimbulkan kerugian besar bagi negara.
Total kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp5,7 triliun. Pada Mei 2025, Ridwan telah melunasi denda sebesar Rp200 juta dan membayar biaya perkara senilai Rp2.500 kepada kejaksaan. Meski demikian, ICW menegaskan bahwa pembayaran denda tidak menghapus tanggung jawab moral dan sosial atas dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi tersebut.





