Sekilas.co – Baru-baru ini muncul fenomena menarik dalam ranah hukum Indonesia, ketika sejumlah tokoh publik mengajukan pendapat hukum sebagai amicus curiae atau “sahabat pengadilan” dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim.
Para pihak yang mengajukan amicus curiae bukanlah orang sembarangan, mereka terdiri dari mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pegiat antikorupsi, hingga mantan Jaksa Agung, yang menilai bahwa keterlibatan mereka penting untuk memberikan perspektif hukum yang lebih luas.
Seperti diketahui, Nadiem ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan Chromebook pada program digitalisasi pendidikan. Namun, penetapan status tersangka tersebut dinilai bermasalah sehingga memunculkan gugatan praperadilan.
Pihak Nadiem berargumen bahwa langkah Kejagung tidak sah, dengan sejumlah pertimbangan hukum yang kemudian mendapat dukungan analisis tambahan dari para amicus curiae.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan amicus curiae? Secara etimologis, istilah ini berasal dari bahasa Latin yang berarti “sahabat pengadilan.”
Mengutip penjelasan dari Kompaspedia, amicus curiae adalah konsep hukum di mana seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kepentingan langsung dengan para pihak dalam suatu perkara, namun memiliki perhatian khusus terhadap hasil putusan pengadilan, dapat memberikan pandangan atau keterangan tambahan.
Ketika pendapat tersebut diajukan oleh lebih dari satu orang atau organisasi, istilahnya berubah menjadi amici curiae, sementara pihak yang mengajukan disebut amicus atau amici.
Dalam praktiknya, kontribusi amicus curiae tidak dimaksudkan untuk menjadi alat bukti, melainkan memberikan masukan berupa fakta tambahan, analisis hukum, pengalaman empiris, hingga pandangan akademis yang relevan dengan perkara.
Majelis hakim memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan atau mengabaikan masukan tersebut, namun secara umum keberadaan amicus curiae dapat memperkaya sudut pandang pengadilan dalam memutus perkara.
Menariknya, pihak yang mengajukan amicus curiae tidak selalu harus seorang advokat atau ahli hukum. Selama ia memiliki keahlian, data, atau pengetahuan yang bernilai dalam konteks perkara, keterangannya dapat dianggap penting bagi proses pengambilan keputusan.
Secara historis, praktik amicus curiae berakar dari tradisi hukum Romawi yang kemudian berkembang pesat dalam sistem hukum common law. Catatan awal penggunaannya muncul sejak abad ke-9, sebelum semakin meluas pada abad ke-17 hingga ke-18, sebagaimana terdokumentasi dalam All England Report.
Dari sana, praktik ini menyebar ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan kemudian ke sistem hukum modern di berbagai belahan dunia. Kini, amicus curiae dipandang sebagai salah satu instrumen partisipasi publik dalam proses peradilan, sekaligus menjadi jembatan antara pengadilan dengan pengetahuan atau kepentingan masyarakat yang lebih luas.





