Sekilas.co – Setiap tanggal 29 September, bangsa Indonesia memperingati Hari Sarjana Nasional sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan akademik dan dedikasi dalam menempuh pendidikan tinggi. Gelar sarjana kerap dimaknai sebagai simbol keberhasilan intelektual, bahkan dianggap sebagai tanda lahirnya generasi baru yang berpengetahuan luas dan siap mengemban tanggung jawab publik.
Namun, realitas menunjukkan bahwa ijazah bukanlah penentu tunggal kualitas seseorang. Sejarah panjang negeri ini membuktikan, tidak sedikit pemegang gelar tinggi justru terjerat kasus penyalahgunaan kewenangan, sementara di sisi lain banyak tokoh tanpa latar belakang pendidikan tinggi mampu tampil sebagai teladan moral, pekerja keras, bahkan pemimpin masyarakat yang disegani.
Oleh karena itu, refleksi atas Hari Sarjana Nasional perlu menegaskan kembali bahwa pendidikan tinggi memang penting, tetapi tidak otomatis sejalan dengan integritas, kepemimpinan, maupun profesionalisme. Gelar hanyalah pintu masuk menuju dunia akademik dan birokrasi, bukan jaminan lahirnya dedikasi maupun kecakapan substantif dalam memimpin atau melayani masyarakat.
Isu tentang pentingnya gelar sarjana belakangan semakin menguat, seiring munculnya berbagai gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pendidikan minimal untuk calon polisi, anggota legislatif, hingga presiden dan wakil presiden. Sebagian pihak mengusulkan agar batas bawah pendidikan dinaikkan ke jenjang strata satu (S1), dengan alasan kompleksitas tugas negara di era modern tidak bisa lagi ditangani oleh lulusan sekolah menengah.
Namun, pengalaman praktis membuktikan bahwa masalah utama bukan terletak pada kualifikasi akademik semata, melainkan pada lemahnya akuntabilitas, minimnya transparansi, dan kultur organisasi yang kerap menoleransi penyalahgunaan kekuasaan. Putusan MK pada September 2025 yang menolak syarat minimal sarjana bagi calon anggota Polri menjadi bukti bahwa kualitas kelembagaan tidak bisa dijawab hanya dengan menambah syarat pendidikan. Banyak kasus penyalahgunaan kewenangan justru melibatkan pejabat berijazah tinggi.
Fenomena serupa terlihat di parlemen. Meski mayoritas anggota DPR periode 2019–2024 adalah lulusan sarjana, tetap saja banyak produk legislasi mereka dibatalkan oleh MK karena cacat formil maupun materiil. Hal ini mempertegas bahwa gelar pendidikan bukanlah jaminan kualitas kebijakan publik. Tanpa pengawasan efektif dan budaya organisasi yang sehat, ijazah hanya menjadi atribut formal belaka.
Di sisi lain, pendidikan tinggi tetap memiliki peran vital. Seorang sarjana membawa bekal teoritis, metodologis, serta kemampuan analitis yang lebih luas. Dalam bidang hukum, misalnya, penyidik dengan latar belakang sarjana hukum tentu lebih siap memahami aturan peradilan dan menyusun berkas perkara sesuai standar. Dalam kerja legislasi, wakil rakyat dengan fondasi akademik lebih mampu merancang regulasi berbasis bukti. Begitu pula dalam eksekutif, seorang presiden idealnya harus memiliki kemampuan intelektual untuk membaca dinamika global dan menyusun strategi pembangunan jangka panjang.
Namun, Indonesia juga tidak bisa menutup mata terhadap kesenjangan pendidikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat rata-rata lama sekolah penduduk baru 8,77 tahun, setara tingkat SMP. Beberapa provinsi bahkan jauh di bawah angka itu, seperti Papua dengan 7,15 tahun dan Nusa Tenggara Barat dengan 7,74 tahun. Artinya, menjadikan sarjana sebagai syarat mutlak berpotensi menciptakan diskriminasi dan menutup akses warga negara lain yang secara konstitusi berhak berpartisipasi.
Selain itu, tingginya pendidikan formal juga tidak selalu paralel dengan integritas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2021 merilis data bahwa 86 persen pelaku korupsi yang ditangani adalah lulusan perguruan tinggi, mayoritas bahkan bergelar magister. Fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan tanpa integritas dan sistem pengawasan hanyalah modal kosong yang berisiko disalahgunakan untuk memperluas rente.
Dalam konteks demokrasi, menempatkan gelar sarjana sebagai penentu utama justru bertentangan dengan prinsip partisipasi rakyat yang setara. Demokrasi, sebagaimana ditegaskan Robert Dahl maupun Fareed Zakaria, menuntut adanya ruang partisipasi, rule of law, serta mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Integritas, rekam jejak, dan dedikasi jauh lebih menentukan ketimbang sekadar kualifikasi akademik formal.
Dengan demikian, gelar sarjana tetap penting, tetapi bukan segalanya. Pendidikan tinggi adalah fondasi yang perlu terus diperluas aksesnya, namun kualitas manusia Indonesia sejati hanya bisa lahir jika pendidikan berpadu dengan integritas, kepemimpinan yang konsisten, serta sistem kelembagaan yang sehat.





